Makalah Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
10/25/2016
Add Comment
TUGAS
PERPAJAKAN
PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Mata Kuliah Perpajakan
Dosen: Mawar Yulita
Novianty, SE., M.Ak
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Ade Siska Fitriani (14.06.1.0002)
Dede Syaifil Mahdar (14.06.1.0011)
Ema Fuji Nurmalasari (14.06.1.0018)
Lia Maryani (14.06.1.0032)
Peri Andrianto (14.06.1.0038)
Tian Sulistianti (15.06.3.0001)
AKUNTANSI-A
PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS
MAJALENGKA
2016
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak
yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang
dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean Indonesia dalam usaha atau pekerjaannya
dan impor barang yang tergolong mewah.
PPn
BM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPn BM ini sedikit
berbeda dengan PPN.
Berdasarkan
Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang PPN, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan
terhadap:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya;
2. Impor
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah. Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan
pada saat penyerahan BKP yang Tergolong Mewah oleh pabrikan (pengusaha yang
menghasilkan) dan pada saat impor BKP yang Tergolong Mewah. PPnBM tidak dikenakan
lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun pihak yang memungut PPnBM tentu
saja pabrikan BKP yang Tergolong Mewah pada saat melakukan penyerahan atau
penjualan BKP yang Tergolong Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP yang
Tergolong Mewah dilunasi oleh importir.
2.2 Dasar
Pengenaan Pajak (DPP)
Dasar
Pengenaan Pajak adalah nilai berupa uang yang dijadikan sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar
Pengenaan Pajak tersebut adalah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan
tarif pajak.
Untuk menghitung besarnya pajak
PPnBM yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Yang menjadi DPP
menurut Mardiasmo (2011:285) adalah:
1. Harga jual.
2. Penggantian.
3. Nilai impor.
4. Nilai ekspor.
5. Nilai lain yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Harga Jual adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena
penyerahan BKP, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
menurut Undang-Undang PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak.
Penggantian adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena
penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud, tetapi tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN 1984
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang
yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan JKP
dan/atau oleh penerima manfaat BKP Tidak Berwujud karena pemanfaatan BKP Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Nilai
Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang mengaur mengenai kepabean dan cukai untuk
impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPnBM yang dipungut menurut Undang-Undang PPN
1984.
Nilai
Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh ekspotir.
Penerapan DPP
diatur dalam berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang menurut Mardiasmo (2011:286) sebagaimana berikut:
1.
Untuk
penyerahan atau penjualan BKP, yang menjadi DPP adalah jumlah harga jual.
2.
Untuk
penyerahan JKP, yang menjadi DPP adalah penggantian.
3.
Untuk
impor, yang menjadi DPP adalah nilai impor.
4.
Untuk
ekspor, yang menjadi DPP adalah nilai ekspor.
5. Atas
kegiatan membangun sendiri bangunan permanen dengan luas 300 m2 atau
lebih, yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya, DPP-nya adalah 40% (empat puluh persen) dari
jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun (tidak termasuk harga perolehan
tanah).
6. Untuk
pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor.
7. Untuk
pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor.
8.
Untuk
penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual
rata-rata.
9.
Untuk
penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film.
10. Untuk penyerahan produk hasil
tembakau adalah sebesar harga jual eceran.
11. Untuk BKP berupa persediaan
dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, DPP-nya adalah harga pasar
wajar.
12. Untuk penyerahan BKP dari pusat
ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang adalah harga
pokok penjualan atau harga perolehan.
13. Untuk penyerahan BKP melalui
pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara
dengan pembeli.
14. Untuk penyerahan BKP melalui
juru lelang adalah harga lelang.
15. Untuk penyerahan jasa
pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau
jumlah yang seharusnya ditagih.
16.
Untuk
penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh
persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang sebenarnya ditagih.
2.3 Tarif
1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai
Tarif PPN yang berlaku saat ini
adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan Tarif PPN atas:
a.
Ekspor
BKP Berwujud;
b.
Ekspor
BKP Tidak Berwujud; dan
c.
Ekspor
JKP.
Pengenaan tarif 0% (nol persen)
tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan
demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang
berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi
dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi
wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima
persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip
tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan
oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan
penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
2)
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM)
Mardiasmo (2011:286) menyatakan
tentang tarif Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu paling
rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
Ketentuan mengenai tarif kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang
dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas
Barang Mewah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Atas ekspor Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen). PPn BM yang
telah dibayar atas perolehan BKP yang Tergolong Mewah yang diekspor dapat
diminta kembali (restitusi).
2.4 Mekanisme Pengenaan PPN
Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 menganut metode kredit pajak (credit method)
serta metode faktur pajak (invoice method). Dalam metode ini Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau
Jasa Kena Pajak (JKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN dipungut secara
bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Unsur pengenaan pajak
berganda atau pengenaan pajak atas pajak dapat dihindari dengan diterapkannya
mekanisme pengkreditan pajak masukan (metode kredit pajak). Untuk melakukan
pengkreditan pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak (metode
faktur pajak).
Mekanisme
pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pada saat membeli/memperoleh
BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi pembeli, PPN yang dipungut
oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak di muka dan disebut dengan
Pajak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa faktur pajak.
2. Pada saat menjual/menyerahkan
BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut
merupakan Pajak Keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib
membuat faktur pajak.
3. Apabila dalam suatu masa pajak
(jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim) jumlah Pajak Keluaran
lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas
negara.
4. Apabila dalam suatu masa pajak
jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya
dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak
berikutnya.
5. Pelaporan penghitungan PPN dilakukan
setiap masa pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai (SPT Masa PPN).
Contoh :
- Sepanjang bulan Maret 2011, PT ABC mempunyai transaksi sebagai berikut:
- Membeli bahan baku seharga Rp. 100.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp. 10.000.000,-)
- Membeli bahan penolong seharga Rp. 40.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp. 4.000.000,-)
- Menjual produknya seharga Rp. 200.000.000,- (memungut PPN sebesar Rp. 20.000.000,-)
- Penghitungan PPN:
Jumlah
Pajak Keluaran Rp.
20.000.000,-
Jumlah
Pajak
Masukan Rp.
14.000.000,-
PPN kurang
bayar
Rp. 6.000.000,-
Jumlah PPN kurang bayar sebesar Rp. 6.000.000,- ini harus
disetorkan ke kas negara.
2.5 Karakteristik Pajak Masukan Dan
Pajak Keluaran
Pajak
masukan adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak melakukan
pembelian terhadap Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP).
Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,
tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
Pajak keluaran ialah pajak yang
dikenakan ketika subjek pajak melakukan penjualan terhadap Barang Kena Pajak
(BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang tergolong dalam barang mewah. Sebagai
salah satu jenis pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seringkali disebut
sebagai pajak objektif. Pada PPN, hal yang pertama kali ditekankan adalah objek
pajak yang akan dikenakan. Kemudian, subjek pajak yang terkena. Misalnya,
barang-barang mewah, kendaraan mewah, dan sebagainya. Yang pertama dikenakan
adalah tarif pada tiap-tiap barang tersebut. Kemudian, barulah wajib pajak
pengkonsumsi barang tersebut yang dikenai beban pajaknya sehingga wajib pajak
tersebut disebut sebagai subjek pajak.
Dalam
pengenaan pajak terhadap subjek pajak tersebut, terdapat dua kategori. Yaitu,
pajak keluaran dan pajak masukan. Dalam hal ini, subjek pajak yang
dimaksud adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan transaksi jual beli barang.
Artinya, PKP mengambil atau memungut rupiah yang dihasilkan dari penjualan
Barang Kena Pajak (BKP) miliknya yang dibeli konsumen. Kemudian, nantinya dapat
berfungsi menjadi kredit atau pengurang pajak. Menjadi kredit atau pengurang
pajak karena sebelumnya sang PKP telah dikenai tarif pajak yang sama atas
pembelian barang tersebut yang di kemudian hari dijual olehnya. Jadi, PPN dalam
hal ini hanya terjadi pelimpahan beban. Adapun batas waktu untuk melakukan
pengkreditan pajak keluaran tersebut adalah tiga bulan setelah masa pajak
berakhir sehingga PKP memiliki waktu yang cukup leluasa untuk melakukan
pengkreditan pajaknya.
2.6 Tata Cara Pengurangan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
Waluyo (2010:65) menyusun
seperti yang tertera pada karya ilmiahnya bahwa dalam Peraturan Menteri
Keuangan ini yang dimaksud dengan:
a. Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
b. Barang Kena Pajak adalah barang
yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
c. Jasa Kena Pajak adalah jasa
yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
d. Pembeli adalah orang pribadi
atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak
dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
e. Penerima Jasa adalah orang
pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena
Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena
Pajak tersebut.
f. Pajak Masukan adalah Pajak
Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena
Pajak.
g. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan
Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa
Kena Pajak.
h. Pengusaha Kena Pajak Penjual
adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak.
i. Pengusaha Kena Pajak Pemberi
Jasa Kena Pajak adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Jasa Kena
Pajak.
j. Pengembalian Barang Kena Pajak
adalah pengembalian Barang Kena Pajak baik sebagian maupun seluruhnya oleh
Pembelian Barang Kena Pajak.
k. Pembatalan
Jasa Kena Pajak adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas
atau kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak.
Dalam
hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (return)
oleh Pembeli, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang
dikembalikan tersebut dapat mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual.
2.7 Jenis
Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
Waluyo (2010:78) menyusun bahwa dalam Keputusan Menteri
Keuangan ini yang dimaksud dengan:
- PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
- Kendaraan sasis adalah rangka kendaraan yang telah dilengkapi dengan motor bakar dan atau dengan transmisinya serta gandar poros dan gandar yang terpasang yang bisa dimodifikasi menjadi kendaraan bermotor sesuai dengan kegunaannya.
- Kendaraan bermotor dalam keadaan terurai sama sekali (Completely Knocked Down) yang selanjutnya disebut Kendaraan CKD adalah kendaraan bermotor dalam keadaan terurai menjadi bagian-bagian termasuk perlengkapannya yang memiliki sifat utama kendaraan bermotor yang bersangkutan.
- Kendaraan bermotor dalam keadaan jadi (Completely Built Up) yang selanjutnya disebut Kendaraan CBU adalah kendaraan bermotor dalam keadaan tidak terurai menjadi bagian-bagian termasuk perlengkapannya serta memiliki sifat utama kendaraan bermotor yang bersangkutan.
- Kendaraan khusus adalah kendaraan bermotor yang dibuat untuk digunakan secara khusus seperti untuk golf, perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung, termasuk trailer dan semi trailer dari jenis tipe cara untuk perumahan atau kemah.
- Kendaraan pengangkutan orang adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan penumpang termasuk sedan atau station wagon.
- Kendaraan pengangkutan barang adalah kendaraan bermotor dengan kabin tunggal dalam bentuk kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan jumlah penumpang tidak lebih dari 3 (tiga) orang termasuk pengemudi yang digunakan untuk kegiatan pengangkutan barang baik yang disediakan untuk umum maupun pribadi.
- Kendaraan Double Cabin adalah kendaraan bermotor dengan kabin ganda dalam bentuk kendaraan hak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk pengemudi, dengan massa total tidak lebih dari 5 ton.
- Kendaraan pengangkutan umum adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk kegiatan pengangkutan orang dan/atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran selain dengan cara persewaan, baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek, sepanjang menggunakan plat dasar polisi dengan warna kuning.
- Kendaraan protokoler kenegaraan adalah semua jenis kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan rombongan kepresidenan atau yang digunakan berkenaan dengan penyambutan tamu-tamu kenegaraan, tidak termasuk kendaraan bermotor yang digunakan oleh pejabat atau karyawan.
- Kendaraan patroli TNI/POLRI adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan patroli TNI atau POLRI.
Kelompok Barang Kena Pajak tergolong mewah yang dikenakan PPnBM
diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), sedangkan untuk jenis dan tarif
barangnya, sehingga dapat dilaksanakan pemungutan PPnBMnya, ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan (PMK).
Bila kendaraan-kendaraan tersebut dalam jangka waktu lima tahun sejak
impor atau perolehannya, ternyata dipindahtangankan atau diubah peruntukannya,
sehingga tidak sesuai dengan tujuan semula, maka PPnBM yang terutang pada saat
impor atau perolehannya tersebut, wajib dibayar kembali dalam jangka waktu satu
bulan sejak Barang Kena Pajak tersebut dipindahtangankan atau diubah
peruntukannya, demikian diatur dalam ayat (2) PP 12/2006.
2.8 Cara Menghitung PPN dan Cara
Menghitung PPn BM
1)
Cara
Menghitung PPN
Cara
menghitung PPN adalah sebagai berikut :
PPN
= Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
|
Contoh
:
1. Pengusaha kena pajak “A” menjual
tunai BKP kepada Pengusaha Kena Pajak “B” dengan Harga Jual Rp. 25. 000.000,-
PPN yang terutang:
10
% x Rp. 25.000.000,- = Rp. 2.500.000,-
PPN
sebesar Rp. 2.500.000,- tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “A”. Sedangkan bagi pengusaha kena pajak “B”, PPN tersebut
merupakan Pajak Masukan.
2. Seseorang mengimpor BKP dari luar
Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp. 15.000.000,-. PPN yang dipungut melalui
Direktorat Jendral Bea dan Cukai:
10 x Rp.
15.000.000,- = Rp. 1.500.000,-
2) Cara Menghitung Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
Cara menghitung PPn BM adalah
sebagai berikut:
PPn BM = Dasar Pengenaan
Pajak x Tarif Pajak
|
Contoh
:
PKP
“ABC” sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual
Rp. 10.000.000,-. Barang tersebut merupakan BKP yang Tergolong Mewah dengan
tarif PPn BM sebesar 40 %. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah
sebagai berikut:
PPN =
10 % x Rp. 10.000.000,- = Rp. 1.000.000,-
PPn
BM
= 40 % x Rp. 10.000.000,- = Rp. 4.000.000,-
2.9 Saat Terutang Pajak
Pajak
terutang pada saat:
- Penyerahan BKP atau JKP;
- Impor BKP;
- Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
- Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean;
- Ekspor BKP Berwujud;
- Ekspor BKP Tidak Berwujud;
- Ekspor JKP;
- Pembayaran, pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan JKP atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean.
2.9.1 Tempat Terutang Pajak
1. Untuk penyerahan BKP/JKP:
a. Tempat tinggal.
b. Tempat kedudukan.
c. Tempat kegiatan usaha.
d. Tempat lain.
Apabila Pengusaha Kena Pajak
terutang pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena
Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1
(satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
2. Dalam hal impor, terutangnya pajak
terjadi ditempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat
Jendral Bea dan Cukai.
3. Orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat
kegiatan usaha.
4. Untuk kegiatan membangun sendiri
oleh PKP yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya
atau oleh bukan PKP, di tempat bangunan tersebut didirikan.
2.9.2 Faktur Pajak
Faktur
Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
Faktur
Pajak dibuat pada:
a. Saat penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal
penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. Saat penerimaan pembayaran termin
dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. Saat lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan
keterangan tentang penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang paling sedikit
memuat:
a. Nama, alamat, dan NPWP yang
menyerahkan BKP atau JKP;
b. Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP
atau penerima JKP;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga
Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. PPN yang dipungut;
e. PPn BM yang dipungut;
f. Kode, nomor seri, dan tanggal
pembuatan Faktur Pajak; dan
g. Nama dan tanda tangan yang berhak
menandatangani Faktur Pajak.
Faktur
Pajak harus dibuat pada:
a. Saat penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. Saat penerimaan pembayaran termin
dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
d. Untuk Faktur Pajak gabungan harus
dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak;
e. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
e. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
2.10 Mekanisme Kredit Pajak
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima
Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai
dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang
seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang
Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau
pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Masukan yang wajib dibayar
tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang
dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan,
tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat
dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai
biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Apabila dalam suatu Masa Pajak,
Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, maka
selisihnya merupakan PPN yang harus disetorkan oleh PKP ke Kas Negara paling
lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat
Pemberitahuan masa PPN disampaikan. Sedangkan apabila dalam suatu Masa Pajak,
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluarannya,
maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali
(restitusi) atau dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.
Contoh 1 :
Selama
bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut:
1. Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp.
100.000.000,-
2. Menyerahkan hasil produksi dengan harga jual Rp. 60.000.000,-
2. Menyerahkan hasil produksi dengan harga jual Rp. 60.000.000,-
Pajak
Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar:
10
% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
Pajak
Keluaran yang harus dipungut:
10
% x Rp. 60.000.000,- = Rp. 6.000.000,-
PPN
yang lebih dibayar dalam Masa Pajak yang bersangkutan:
Rp.
10.000.000,- – Rp. 6.000.000,- = Rp. 4.000.000,-
Kelebihan
tersebut dapat dikompensasi pada Masa Pajak berikutnya atau dapat diminta
kembali (restitusi).
Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan, maka
selisihnya merupakan pajak yang harus disetor ke Kas Negara oleh PKP.
Contoh 2 :
Selama
bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut:
1. Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp.
150.000.000,-
2. Menyerahkan BKP hasil produksi dengan harga jual Rp.
200.000.000,-
Pajak
Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar:
10
% x Rp. 150.000.000,- = Rp. 15.000.000,-
Pajak
Keluaran yang harus dipungut:
10%
x Rp. 200.000.000,- = Rp. 20.000.000,-
PPN
yang masih harus disetor ke Kas Negara:
Rp.
20.000.000,- – Rp. 15.000.000,- = Rp. 5.000.000,-
2.11 Pajak Masukan yang Tidak Dapat
Dikreditkan
Pajak
Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran. Akan tetapi
tidak semua Pajak Masukan dapat dikreditkan. Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan adalah Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk:
a. Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai PKP.
b. Perolehan BKP atau JKP yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan
bermotor sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau
disewakan.
d. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau
pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
PKP.
e. Perolehan BKP atau JKP yang Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5)
atau ayat (9) UU PPN 1984 atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok
Wajib Pajak pembeli BKP atau penerima JKP.
f. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau
pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6) UU PPN 1984.
g. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak
Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.
h. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak
Masukannya tidak dilaporkan dalam SPT masa PPN, yang ditemukan pada waktu
dilakukan pemeriksaan.
i. Perolehan BKP selain barang modal
atau JKP sebelum PKP berproduksi.
j. Pajak Masukan yang dibayar untuk
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
k. Berkenaan dengan kegiatan membangun
sendiri.
2.12 Penyerahan
Kepada Pemungut PPN
Sedikit
menyimpang dari mekanisme yang secara umum berlaku, apabila PKP menyerahkan BKP
dan/atau JKP kepada pemungut PPN, PKP yang bersangkutan tidak memungut PPN dan
PPn BM. PPN dan PPn BM yang terutang atas penyerahan tersebut akan dipungut dan
disetorkan ke kas Negara oleh pemungut PPN.
Pengertian
Pemungut PPN menurut Undang-undang PPN 1984 adalah bendaharawan pemerintah,
badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena
Pajak atas penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada bendaharawan
pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.
Menurut
ketentuan yang berlaku saat ini, yang ditetapkan sebagai Pemungut PPN adalah:
- Bendaharawan Pemerintah, yaitu Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Provinsi, Kabupaten, atau Kota.
- Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
Pemungutan PPN yang melakukan
pembayaran atas penyerahan BKP dan atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak Rekanan
Pemerintah, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPn BM yang
terutang. Pemungutan PPN dan PPn BM dilakukan pada saat dilakukan pembayaran
oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPPN kepada PKP Rekanan Pemerintah. PPN dan
PPn BM tidak dipungut dalam hal:
1. Pembayaran yang jumlahnya paling
banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah;
2. Pembayaran untuk pembebasan tanah;
3. Pembayaran atas penyerahan BKP
dan/atau JKP yang menurut ketentuan perundang- undangan yang berlaku, mendapat
fasilitas PPN tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan PPN;
4. Pembayaran atas penyerahan Bahan
Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh PT (Persero) Pertamina;
5. Pembayaran atas rekening telepon;
6. Pembayaran atas jasa angkutan udara
yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan;
7. Pembayaran lainnya untuk penyerahan
barang atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak
dikenakan PPN.
Catatan:
PPN
dan PPn BM yang terutang sehubungan dengan pembayaran yang jumlahnya paling
banyak jumlah Rp 1.000.000,00, dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak
rekanan Pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum. Batas jumlah
pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00 tersebut hendaknya diartikan termasuk PPN
dan PPn BM.
2.13 Tata Cara Pemungutan
1.
Dasar
Pemungutan
Dasar pemungutan PPN dan PPn BM
adalah jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau
jumlah pembayaran yang dilakukan oleh KPPN sebagaimana tersebut dalam Surat
Perintah Membayar (SPM).
2.
Jumlah
atau PPn BM yang Dipungut
a. Dalam hal penyerahan BKP hanya terutang
PPN, maka jumlah PPN yang dipungut adalah 10/110 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh:
Jumlah
Pembayaran Rp
11.000.000,00
Jumlah PPN : 10/110 x Rp
11.000.000,00 Rp 1.000.000,00
Sisa yang dibayarkan kepada PKP
rekanan
( Rp 11.000.000,00 – Rp
1.000.000,00) Rp
10.000.000,00
b. Dalam hal penyerahan BKP yang
tergolong mewah dari pengusaha yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah
tersebut, disamping terutang PPN juga terutang PPn BM, maka jumlah PPN dan PPn
BM yang dipungut adalah sebagai berikut:
Dalam
hal terutang PPn BM sebesar 20%, maka jumlah PPN yang dipungut
sebesar 10/130 bagian dari jumlah pembayaran sedangkan jumlah PPn BM yang
dipungut sebesar 20/130 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh:
PPn BM dengan tarif 20%
Jumlah
Pembayaran Rp
13.000.000,00
Jumlah PPN yang dipungut:
(10/130 x Rp
13.000.000,00) Rp 1.000.000,00
Jumlah PPn BM yang dipungut:
(20/130) x Rp 13.000.000,00) Rp 2.000.000,00
Sisa yang dibayarkan kepada PKP
rekanan:
Rp
13.000.000,00 – ( Rp 1.000.000,00 + Rp 2.000.000,00) = Rp10.000.000,00
c. Dalam hal pembayaran berjumlah
paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan
jumlah yang terpecah-pecah, maka PPN dan PPn BM tidak perlu dipungut oleh
Bendaharawan Pemerintah. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00
Contoh 1:
Harga
Jual Rp 900.000,00
PPN:
10% x Rp 900.000,00 Rp 90.000,00
PPn
BM (Misal terutang dengan tarif 20%) Rp 180.000,00
Harga
Jual termasuk PPN dan PPn BM Rp 1.
170.000,00
Meskipun Harga Jual Rp 900.000,00 tetapi karena pembayaran
termasuk PPN dan PPn BM berjumlah Rp 1.170.000,00 (di atas Rp 1.000.000,00),
maka PPN dan PPn BM yang terutang harus dipungut oleh Bendahawaran Pemerintah
atau KPPN.
Contoh 2:
Harga
Jual Rp 800.000,00
PPN:
10% x Rp 800.000,00 Rp 80.000,00
PPn
BM (Misal terutang dengan tarif 10%) Rp 80.000,00
Harga
Jual termasuk PPN dan PPn BM Rp 960.000,00
Karena Harga Jual termasuk PPN dan PPn BM berjumlah Rp
960.000,00 (kurang dari Rp 1.000.000,00), maka PPN dan PPn BM yang terutang
tidak perlu dipungut oleh Bendahawaran Pemerintah dan KPPN, tetapi harus
dipungut dan disetor oleh PKP Rekanan Pemerintah, dan Faktur Pajak tetap harus
dibuat.
3. Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran
a. PKP rekanan Pemerintah membuat
Faktur Pajak dan SSP pada saat menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan
Pemerintah atau KPPN baik untuk sebagian maupun seluruh pembayaran.
b. SSP sebagaimana dimaksud pada huruf
a diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas PKP Rekanan Pemerintah yang
bersangkutan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah
atau KPKN sebagai penyetor atas nama PKP Rekanan Pemerintah.
c. Dalam hal penyerahan BKP tersebut
terutang PPn BM maka PKP rekanan Pemerintah mencantumkan jumlah PPn BM yang
terutang pada Faktur Pajak.
d. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud
pada huruf a dibuat dalam rangkap 3 (tiga):
· Lembar ke-1 untuk Bendaharawan
Pemerintah atau KPPN sebagai Pemungut PPN.
· Lembar ke-2 untuk arsip PKP rekanan
Pemerintah.
· Lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan
Pajak melalui Bendaharawan Pemerintah atau KPPN.
e. Dalam hal pemungutan oleh
Bendaharawan Pemerintah, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat rangkap 5
(lima). Setelah PPN dan atau PPn BM disetor di Bank Persepsi atau
Kantor Pos, lembar-lembar SSP tersebut diperuntukkan sebagai berikut:
· Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan
Pemerintah.
· Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan
Pajak melalui KPPN.
· Lembar ke-3 untuk PKP Rekanan
Pemerintah dilampirkan pada SPT Masa PPN.
· Lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau
Kantor Pos.
· Lembar ke-5 untuk pertinggal
Bendaharawan Pemerintah.
f. Dalam hal pemungutan oleh KPPN, SSP
sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 4 (empat) yang
masing-masing diperuntukkan sebagai berikut:
· Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan
Pemerintah.
· Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan
Pajak melalui KPPN.
· Lembar ke-3 untuk PKP rekanan
Pemerintah dilampirkan pada SPT Masa PPN.
· Lembar ke-4 untuk pertinggal KPPN.
g. Pada lembar Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud pada huruf d oleh Bendaharawan Pemerintah yang melakukan pemungut
wajib dibubuhi cap “Disetor tanggal ………” dan ditandatangani oleh Bendaharawan
Pemerintah.
h. Pada setiap lembar Faktur Pajak
sebagaimana dimaksud pada huruf d dan SSP sebagaimana dimaksud pada huruf f
oleh KPPN yang melakukan pemungutan dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM.
i. SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2
sebagaimana dimaksud pada huruf f dibubuhi cap “TELAH DIBUKUKAN” oleh KPPN.
j. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti
pemungutan dan penyetoran PPN dan atau PPn BM.
2.14 PPN Atas Kegiatan
Membangun Sendiri dan Surat Pemberitahuan Masa
(SPT Masa) PPN
1. PPN Atas Kegiatan
Membangun Sendiri
Atas kegiatan membangun sendiri
terutang Pajak Pertambahan Nilai. Yang dimaksud dengan kegiatan membangun
sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan
usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan
sendiri atau digunakan pihak lain. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan
berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
a. Konstruksi utamanya terdiri dari
kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
b. Diperuntukkan bagi tempat tinggal
atau tempat kegiatan usaha; dan
c. Luas keseluruhan paling sedikit 300
m2 (tiga ratus meter persegi).
1) Tarif dan Dasar Pengenaan pajak
Atas kegiatan membangun sendiri
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% (sepuluh persen) dikalikan
dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun
sendiri adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang
dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak termasuk
harga perolehan tanah. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang setiap bulan
dihitung dengan cara:
PPN = (40% x Jumlah Biaya yang
Dikeluarkan) x 10%
|
Contoh:
Tuan Budi melakukan kegiatan
membangun sendiri bangunan dengan luas 400 m2 yang akan digunakan
sebagai rumah tinggal. Seluruh biaya yang dikeluarkan pada bulan April 2010
(diluar pembelian tanah) adalah sebesar Rp 50.000.000,00. PPN yang harus
disetorkan adalah:
PPN =
(Rp 50.000.000,00 x 40% ) x 10%
=
Rp 20.000.000,00 x 10%
=
Rp 2.000.000,00
Catatan:
Pajak
Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat
dikreditkan.
2) Saat dan Tempat Terutang PPN
Saat terutang PPN atas kegiatan
membangun sendiri adalah pada saat mulai dibangunnya bangunan. Sedangkan tempat
pajak terutang adalah tempat bangunan tersebut didirikan.
Orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri harus menyetorkan PPN yang terutang ke Kas
Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lama tanggal 15 bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak, dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak. Kegiatan membangun sendiri wajib dilaporkan kepada Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut dengan mempergunakan
lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya masa pajak.
2. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)
PPN
Surat Pemberitahuan Masa merupakan
laporan bulanan yang dapat disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak, mengenai
penghitungan:
1. Pajak Masukan berdasarkan realisasi
pembelian BKP atau realisasi penerimaan JKP.
2. Pajak Keluaran berdasarkan realisasi
pengeluaran BKP/JKP.
3. Penyetoran pajak atau kompensasi.
Bagi Pengusaha Kena Pajak penyampaian SPT:
1. PKP wajib melaporkan perhitungan
pajak tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak (Kantor Pelayanan Pajak).
2. Dilakukan paling lambat tanggal 20
setelah akhir masa pajak.
3. Menggunakan formulir SPT Masa.
4. Keterangan dan dokumen yang
dicantumkan jika tidak atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan UU PPN
1984.
5. Pelantukan juga Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM)
Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan Barang
Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean Indonesia dalam
usaha atau pekerjaannya dan impor barang yang tergolong mewah.
Untuk menghitung besarnya pajak PPnBM yang terutang perlu adanya
Dasar Pengenaan Pajak (DPP). yang menjadi DPP menurut Mardiasmo (2011:285)
adalah:
1. Harga jual.
2. Penggantian.
3. Nilai impor.
4. Nilai ekspor.
5. Nilai lain yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
2. Tarif
1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan pertimbangan
perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan,
Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi
paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan
tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam
rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
2) Tarif
Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM)
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu paling rendah 10%
(sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Ketentuan mengenai
tarif kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan ketentuan
mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
3. Mekanisme Pengenaan PPN
Mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut:
- Pada saat membeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi pembeli, PPN yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak di muka dan disebut dengan Pajak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa faktur pajak.
- Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak.
- Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim) jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas negara.
- Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.
- Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
4. Karakteristik Pajak Masukan dan
Pajak Keluaran
Pajak masukan adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha
Kena Pajak melakukan pembelian terhadap Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena
Pajak (JKP).
Pajak keluaran ialah pajak yang
dikenakan ketika subjek pajak melakukan penjualan terhadap Barang Kena Pajak
(BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang tergolong dalam barang mewah.
5. Cara Menghitung PPN dan Cara
Menghitung PPn BM
1) Cara Menghitung PPN
Cara
menghitung PPN adalah sebagai berikut :
PPN
= Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
|
2) Cara Menghitung Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
Cara menghitung PPn BM adalah
sebagai berikut:
PPn BM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
|
6. Tarif
dan Dasar Pengenaan Pajak
Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang setiap bulan dihitung dengan cara:
PPN = (40% x Jumlah Biaya yang
Dikeluarkan) x 10%
|
3.2 Saran
Masyarakat
dan pihak yang merupakan wajib pajak haruslah lebih proaktif dan mempunyai
kesadaran untuk megetahui berbagai hal yang berkaitan dengan pembayaran pajak
dan aturan-aturannya. Sementara itu Pemerintah
harus bersikap bijak dengan tidak mengkorupsi uang pajak, dan sepenuhnya
menggunakan hasil pungutan pajak untuk kepentingan masyarakat dan kemajuan
bangsa, sehingga terjadi hubungan yang baik antara masyarakat dan Pemerintah
dalam urusan pajak.
0 Response to "Makalah Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)"
Post a Comment