Pancasila Sebagai Etika (Makalah Pendidikan Pancasila)
10/04/2016
Add Comment
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pancasila
sebagai dasar negara, pedoman dan tolak ukur kehidupan berbangsa dan bernegara
di Republik Indonesia. Tidak lain dengan kehidupan berpolitik, etika politik
Indonesia tertanam dalam jiwa Pancasila. Kesadaran etik yang merupakan kesadaran relational akan tumbuh subur bagi
warga masyarakat Indonesia ketika nilai-nilai pancasila itu diyakini kebenarannya, kesadaran etik juga akan lebih berkembang ketika
nilai dan moral pancasila itu dapat di breakdown ke dalam norma-norma yang di berlaku di Indonesia .
Pancasila
juga sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai
sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum,
norma moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung
didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional,
sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini
merupakan suatu nilai, Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara
langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan
atau aspek prasis melainkan suatu nilai yan bersifat mendasar.
Nilai-nilai
pancasila kemudian dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan
suatu pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan
tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian
yang ke dua adalah norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka pancasila berkedudukan
sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, pancasila juga merupakan suatu
cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa
Indonesia sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa indonesia sendiri
sebagai asal mula (kausa materialis).
Pancasila
bukanlah merupakan pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praksis
melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum
baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus
dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam
kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang ada di makalah
ini adalah
- Apa pengertian etika?
- bagaimana pengertian nilai, norma dan moral?
- Apa itu hierarkhi nilai?
- Bagaimana hubungan antara nilai, norma dan moral?
- Bagaimana pengertian etika politik dan politik?
- Apa definisi dimensi politisi manusia?
- Nilai-nilai apa yang tergandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik ?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dalam makalah ini adalah :
- Untuk mengetahui pengertian nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika politik.
- Dapat mengerti hubungan antara nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika politik.
- Dapat memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Etika
Sebagai
suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi, menjadi beberapa cabang menurut lingkungan
masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok
yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat pertama berisi tentang
segala sesuatu yang ada sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia
bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Misalnya hakikat manusia, alam,
hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa
yang kita ketahui dan tentang yang transenden.
Etika
termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi. dua kelompok
yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran danpandangan-pandangan moral. itu dalam
hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika
adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus
menggambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai
ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum merupakan prinsip- prinsip yang berlaku
bagi setiap tindakan manusia sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip.
Etika khusus dibagi menjadi etika
individu yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika
sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam
hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika
berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pada umumnya
membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai
"susila" dan "tidak susila", "baik" dan
"buruk". Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan
dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang
memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika
banyak bertangkutan dengan Prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam
hubungan dengan, tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat juga
dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam
hubungan dengan tingkah laku manusia.
Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana
manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana
dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap
dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu
adalah sebagai berikut :
1.
Etika Umum,
mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2.
Etika
Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etikaindividual) maupun mahluk sosial (etikasosial).
2. Pengertian Nilai, Norma, dan Moral
A. Pengertian Nilai
Nilai
(value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan
kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian,maka nilai itu
adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai
berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu
adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau
tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah
berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur
jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.
Nilai atau
“value” (bahas Inggris) termasuk bidang kajian filsafat, persoalan-persoalan
tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat
nilai (Axiology, theory of value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu
tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk
menunjuk kata benda abstrak yang artinya “kebiasaan” (wath) atau kebaikan
(goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tentu dalam
menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229)
Nilai adalah sesuatu yang berharga,
berguna, indah, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat,
martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan
mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem
nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan
karya. Cita-cita, gagasan, konsep dan ide tentang sesuatu adalah wujud
kebudayaan sebagai sistem nilai.
Oleh karena itu, nilai dapat
dihayati atau dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud
kebudayaan yang abstrak. Manusia dalam memilih nilai-nilai menempuh berbagai
cara yang dapat dibedakan menurut tujuannya, pertimbangannya, penalarannya, dan
kenyataannya. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan
menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur, sedangkan nilai politik
berpusat pada kekuasaan serta pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
maupun politik.
Dengan
demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin dan
menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang
berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku
manusia.Nilai sebagai suatu system merupakan salah satu wujud kebudayaan di
samping system social dan karya.Oleh karenaitu, Alport
mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada
enam macam, yaitu : nilaiteori, nilaiekonomi, nilaiestetika, nilaisosial,
nilaipolitikdannilaireligi.
Di dalam
Dictionary of sosiology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah
kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia.
Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok,
(the believed capacity of any object to statistfy a human desire). Jadi nilai
itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek
itu sendiri.Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita – cita, harapan –
harapan, dambaan – dambaan dan keharusan. Berbicara tentang nilai berarti
berbicara tentang das Sollen, bukan das Sein, kita masuk kerokhanian bidang
makna normatif, bukan kognotif, kita msuk ke dunia ideal dan bukan dunia real.
Meskipun demikian, diatara keduannya saling berhubungan atau saling berkait
secara erat, artinya bahwa das Sollen itu harus menjelma menjadi das Sein, yng
ideal harus menjadi real, yang normatif harus direalisasikan dalam perbuatan
sehari – hari yang merupakan fakta.
B. Pengertian
Norma
Kesadaran akan hubungan yang ideal
akan menumbuhkan kepatuhan terhadap peraturan atau norma. Norma adalah petunjuk
tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan
motivasi tertentu.
Norma sesungguhnya perwujudkan
martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma
merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai
untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa
norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial.
Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi,
misalnya:
a)
Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b)
Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan
menyesal terhadap diri sendiri,
c)
Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan
dalam pergaulan masyarakat,
d)
Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau
kurungan atau denda yang dipaksakan oleh alat Negara.
C. Pengertian
Moral
Moral berasal dari kata mos (mores)
yang artinya kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang
baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang
yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam
masyarakatnya ,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika
sebaliknya terjadi, pribadi itu dianggao tidak bermoral. Moral dalam
perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik,
terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma,
moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral, filsafat,
moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma dan moral
secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.
3. Pengertian Hierarkhi Nilai
Hierarkhi
nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu –masyarakat
terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai
tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang
ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai-nilai dapat
dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
1. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan
dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak,
2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi
kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum,
3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan
dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni,
4.
Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah
modalitas nilai dari yang suci.
·
Walter G . everet menggolongkan
nilai – nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu:
a) Nilai – nilai ekonomis
b) Nilai – nilai kejasmanian c) Nilai – nilai hiburan d) Nilai – nilai sosial e) Nilai – nilai watak |
f) Nilai – nilai estetis
g) Nilai – nilai intelektual h) Nilai – nilai keagamaan |
Sementara itu, Notonagoro membedakan
menjadi tiga, yaitu :
1)
Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
jasmani manusia,
2)
Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan,
3)
Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat
rokhani manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan, sebagai
berikut :
a.
Nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio,
budi, akal atau cipta manusia.
b.
Nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber
pada perasaan manusia.
c.
Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang
bersumber pada unsur kehendak manusia.
d.
Nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan
bersifat mutlak.
Dalam
pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria
sehingga merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak
dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman
yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati
nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang
bersumber pada berbagai sistem nilai.
Dari uraian mengenai macam – macam nilai diatas, dapat dikemukakan pula
bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang bewujud material saja,
akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non material atau immatrial. Notonagoro
berpendapat bahwa nilai – nilai pancasila tergolong nilai – nilai kerokhanian,
tetapi nilai – nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan vital.
Dengan demikian nilai – nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai
matrial, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan atau
nilai moral, maupun nili kesucian yang sistematika-hierarkis, yang dimulai dari
sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai ‘dasar’ sampai dengan sila Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai ‘tujuan’.
4. Hubungan Antara Nilai, Norma dan Moral
Keterkaitan
nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap
terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu
mutlak digaris bawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara
menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang.
Sebagaimana
tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku
manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga
memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam
kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan
memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat
ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara
moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya.
Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada
di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.
5. Pengertian
Etika Politik Dan Politik
A. Pengertian
Etika Politik
Etika, atau filsafat moral mempunyai
tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik yang demikian,
memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan mana yang
jelek. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak! Standar baik
dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan
kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi
dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang
terjadi di negeri ini.Etika politik bangsa Indonesia dibangun melalui
karakteristik masyarakat yang berdasarkan
Pancasila sehingga amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak
diatur dalam aturan secara legal formal. Karena itu, etika politik lebih
bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika
politik itulah maka seringkali keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah
diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan alam kompetisi untuk
meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa
malu dan merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan.
Akibatnya ada dua hal: (a) pudarnya nilai-nilai etis
yang sudah ada, dan (b) tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan
moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi
budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau
belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh, karena untuk membuka
seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah.
Tanpa
disadari, nilai etis politik bangsa Indonesia cenderung mengarah pada kompetisi
yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan
sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat.
Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah
etika dalam bidang politik (dan bidang lainnya) sedang berlarian
tunggang-langgang (meminjam Giddens, “run away”) menuju ke arah “jual-beli”
menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang.
Namun demikian, perlu dibedakan antara etika politik
dengan moralitas politisi. Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan
dan politisi secara pribadi (dan memang sangat diandaikan), misalnya apakah ia
korup atau tidak (di sini tidak dibahas). Etika politik menjawab dua
pertanyaan:
- Bagaimana seharusnya bentuk lembaga-lembaga kenegaraan seperti hokum dan Negara (misalnya: bentuk Negara seharusnya demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.
- Apa yang seharusnya menjadi tujuan/sasaran segala kebijakan politik, jadi apa yang harus mau dicapai baik oleh badan legislatif maupun eksekutif.
Etika politik adalah perkembangan
filsafat di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan para filosof politik klasik:
Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun, kita
menemukan pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua
pertanyaan etika politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam
rangka pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima
tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan menurut
ratio/nalar, secara etis. Karena itu, sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan
pokok-pokok etika politik seperti:
a.
Perpisahan
antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke)
b.
Kebebasan
berpikir dan beragama (Locke)
c.
Pembagian
kekuasaan (Locke, Montesquie)
d.
Kedaulatan
rakyat (Rousseau)
e.
Negara hokum
demokratis/republican (Kant)
f.
Hak-hak
asasi manusia (Locke, dsb)
g.
Keadilan
sosial
B. Pengertian
Politik
Pengertian
‘politik’ berasal dari kosakata ‘politics’, yang memiliki makna bermacam –
macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau ‘negara’, yang menyangkut proses
penentuan tujuan – tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan
itu. Berdasarkan pengertian – pengertian pokok tentang politik maka secara
operasional bidang politik menyangkut konsep – konsep pokok yang berkaitan dengan
negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making),
kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution), serta alokasi (allocation).
Pengertian
politik secara sempit, yaitu bidang politik lebih banyak berkaitan dengan para
pelaksana pemerintahan negara, lembaga – lembaga tinggi negara, kalangan
aktivis politik serta para pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan dan
penyelengaraan negara. Pengertian politik yang lebih luas, yaitu menyangkut
seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat
negara.
6. Definisi
Dimensi Politisi Manusia
A. Manusia Sebagai Makhluk Individu – Sosial
Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandan
manusia sebagai makhluk individu yang bebas. Segala hak dan kewajiban dalam
kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan
berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu.
Kalangan
kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat
kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar
srana bagi masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam
hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filosofi
manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia
sebgai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas
dan kreativitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini
di karenakan manusia sebagai warga masyrakat atau sebagai makhluk sosial.
Manusia di dalam hidupnya mampu ber-eksistensi karena orang lain dan ia hanya
dapt hidup dan berkembang karena dalam hubungannya dengan orang lain. Segala
keterampilan yang dibutuhkannya agar berhasil dalam segal kehidupannya serta
berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari masyarkat.
Dasar
filosofis sebagai mana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya
bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat
‘monodualis’. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan
kenegaraan indonesia, bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis
melainkan monodualistis.
B. Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial,
dimensi politis mencakup lingkaran kelembagaan hukum dan
negara, sistem – sitem nilai serta ideologi yang memberikan legitiminasi
kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagi makhluk individu
dan sosial, dimensi politis manusia senantiasa
berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan
kehidupan masyrakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis manakala
diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia
akan dirinya sendiri sebagai anggota masyarakat sebagai sutu keseluruhan yang
menentukan kerangka kehidupannya dan di tentukan kembali oleh kerangka
kehidupannya serta ditentukan kembali oleh tindakan – tindakannya.
Dimensi
politis manusia ini memiliki dua segi fundamental, yaitu
pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu
dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa
berhadapan dengan tindakan moral manusia.
7. Nilai-nilai Terkandung Dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
Sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” serta sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” adalah merupakan sumber nilai – nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar
kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai dengan:
a)
Asas legalitas (legitimasi
hukum).
b)
Di sahkan dan dijalankan secara
demokratis (legitimasi demokratis)
c) Dilaksanakan berdasarkan
prinsip – prinsip moral / tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasan, kenijaksanan
yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarka legitimasi
moral religius (sila 1) serta moral kemanusiaan (sila 2). Negara
Indonesia adalah negara hukum, oleh krena itu ‘ keadilan’ dalam hidup bersama
(keadilan sosial) sebgai mana terkandung dalam sila 5, adalah merupakan tujuan
dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan pnyelenggraan
negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa
harus
berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan
yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah
merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan
pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus
dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok negara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari makalah
ini adalah :
- Pancasila adalah sebagai suatu sistem filsafat yang pada hakikatnya merupakan nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan laianya.
- Suatu pemikiran filsafat tidak seccara langsung menyajikan norma – norma yang merupakan pedoman dakam suatu tindakan atau aspek praktis melainkan nilai – nilai yang bersifat mendasar.
- Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang prinsip – prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia yang membicarakan masalah – masalah yang berkaitan dengan predikat “susila” dan “tindak susila”, “baik” dan “buruk”.
- Hubungan sistematik antara nilai, norma dan moral tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praktis dalam kehidupan manusia.
- Etika politik adalah termasuk lingkup etika sosial manusia yang secara harfiah berkaitan dengan bidang kehidupan politik.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini terdapat kekuranganya oleh karna itu kami berharap ada yang menyarankan kepada kami, supaya kami dapat memperbaiki dimana letak kesalahan dan
kekurangan dalam menyusun makalah ini, demi
tercapainya kesempurnaan penyusunan makalah selanjutnya.
0 Response to "Pancasila Sebagai Etika (Makalah Pendidikan Pancasila)"
Post a Comment